Assalamu'alaikum Wb Wb hai sahabat/ saudaraku fillah. selamat datang di bloger yang sederhana ini semoga bermanfaat untuk kalian. salam santun ukhuwah . insya allah wa barokallahu fik. aamiin,.
Sabtu, 07 April 2012
Kunci Surga Itu Bernama Kesetiaan
PADA suatu hari, Fathimah Radhiyallahu ‘anha (RA)
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah perempuan
yang akan masuk surga pertama kali. Rasulullah menjawab, ”Seorang wanita yang
bernama Mutiah.”
Tentu saja Fathimah terkejut. Ternyata bukan dirinya, seperti yang
dibayangkannya. Mengapa orang lain, padahal dia adalah putri Nabi?
Timbullah keinginan untuk mengetahui siapakah Mutiah itu. Apa gerangan yang
diperbuatnya sampai mendapat kehormatan yang begitu tinggi?
Sesudah meminta izin kepada suaminya, Ali bin Abi Thalib RA, Fathimah berangkat
mencari rumah Mutiah. Putranya yang masih kecil, Hasan, menangis ingin ikut.
Maka digandengnya Hasan.
Tiba di depan rumah yang dituju, Fathimah mengetuk pintu, “Assalaamu’alaikum…!”
“Wa’alaikumsalaam. Siapa di luar?” terdengar jawaban dari dalam rumah. Suaranya
cerah dan merdu.
“Saya Fathimah, putri Rasulullah.”
“Alhamdulillah, alangkah bahagia saya hari ini. Fathimah sudi berkunjung ke
gubug saya,” terdengar kembali jawaban dari dalam, terdengar lebih gembira, dan
makin mendekat ke pintu.
“Sendirian Fathimah?” tanya Mutiah.
“Aku ditemani Hasan.”
“Aduh, maaf ya,” suara itu seperti menyesal. “Saya belum mendapat izin untuk
menemui tamu laki-laki.”
“Tapi Hasan masih kecil.”
“Meski kecil, Hasan laki-laki. Besok saja datang lagi, saya akan minta izin
kepada suami saya.”
Sambil menggeleng-nggelengkan kepala, Fathimah akhirnya minta permisi.
Besoknya ia datang lagi. Kali ini Husain, adik Hasan, diajak juga. Bertiga
dengan anak-anak yang masih kecil itu, Fathimah mendatangi rumah Mutiah.
Setelah memberi salam dan dijawab gembira, Mutiah bertanya dari dalam, “Jadi
dengan Hasan? Suami saya sudah memberi izin.”
“Ya, dengan Hasan dan Husain.”
“Ha! Mengapa tidak bilang dari kemarin? Yang dapat izin cuma Hasan, Husain
belum. Terpaksa saya tidak bisa menerima juga.”
Lagi-lagi Fathimah gagal bertemu.
Esok harinya barulah mereka disambut baik-baik oleh Mutiah. Keadaan rumah itu
sangat sederhana. Tidak ada satu pun perabot mewah, namun semuanya teratur
rapi.
Ada tempat tidur yang terbuat dari kayu kasar namun tampak bersih. Alasnya
putih, agaknya baru dicuci. Bau di dalam sangat segar. Membuat orang betah
tinggal berlama-lama.
Fathimah kagum melihat suasana yang sangat menyenangkan itu. Hasan dan Husain
pun yang biasanya kurang begitu senang berada di rumah orang, kali ini tampak
asyik bermain-main.
“Maaf, saya tidak bisa menemani Fathimah duduk, sebab saya sedang menyiapkan
makan buat suami saya,“ kata Muthiah sambil sibuk di dapur.
Mendekati tengah hari, masakan itu sudah rampung. Mutiah menatanya di atas
nampan. Juga, menaruh cambuk.
Fathimah bertanya, ”Suamimu kerja di mana?”
“Di ladang.”
“Penggembala?”
“Bukan. Bercocok tanam.”
“Tapi mengapa kau bawakan cambuk, untuk apa?”
“Oh, itu,” Mutiah tersenyum. “Cambuk itu saya sediakan untuk keperluan lain.”
Fathimah penasaran.
“Maksud saya begini. Kalau suami saya sedang makan, maka akan saya tanyakan
apakah cocok atau tidak. Kalau dia bilang cocok, tak akan terjadi apa-apa.
Tetapi kalau bilang tidak cocok, cambuk itu akan saya berikan kepadanya agar
punggung saya dicambuk sebab tidak bisa menyenangkan hati suami.”
“Atas kehendak suamimukah kau bawa cambuk itu?”
“Oh, sama sekali tidak. Suami saya adalah orang yang lembut dan pengasih. Ini
semua semata-mata kehendak saya agar jangan sampai saya menjadi istri yang
durhaka kepada suami.”
Usai mendengar penjelasan ini, Fathimah minta permisi. Dalam hati ia berkata,
pantas ia akan masuk surga buat pertama kali. Baktinya kepada suami begitu
besar dan tulus.
Kesetiaan yang Bersejarah
Bukan berarti Fathimah tidak termasuk tipikal wanita yang setia terhadap
suaminya. Kesetiaan dan ketaatan buah hati Rasulullah ini kepada suami tidak
diragukan lagi. Kehidupan rumah tangganya serba kekurangan, nemun kesetiaannya
yang didasari keimanan dan perjuangan syiar Islam tidak luntur walau sedebu.
Darah kesetiaan nampaknya mengalir deras dari ibundanya, Khadijah RA, Muslimah
pertama yang mempelopori kecintaan dan kesetiaan kepada suami.
Mari kita kenang kembali peristiwa yang sungguh mendebarkan jantung Rasulullah
Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Peristiwa itu ialah
penerimaan wahyu yang pertama di Gua Hira.
Sekembalinya ke rumah, Nabi berkata kepada istrinya yang tercinta, “Aku merasa
khawatir terhadap diriku.”
Saat itu Khadijah dengan segala kelembutannya berkata, “Wahai Kakanda, demi
Allah, Tuhan tidak akan mengecewakanmu karena sesungguhnya Kakanda adalah orang
yang selalu memupuk dan menjaga kekeluargaan, serta sanggup memikul tanggung
jawab.
Kakanda dikenali sebagai penolong kaum yang sengsara, sebagai tuan rumah yang
menyenangkan tamu, ringan tangan dalam memberi pertolongan, senantiasa
berbicara benar dan setia kepada amanah,” tuturnya.
Apakah ada wanita lain yang dapat menyambut sedemikian baik peristiwa
bersejarah yang berlaku di Gua Hira seperti yang dilakukan oleh Khadijah?
Betapa besarnya kepercayaan (kesetiaan) dan kasih sayang seorang istri kepada
suami yang dilandasi iman yang teguh. Sedikit pun Khadijah tidak berasa
ragu-ragu di dalam hatinya.
Jika ada wanita yang berkurang kadar kesetiaannya karena alasan penghasilan dan
kekayaan, maka Khadijah merupakan wanita kaya dan terkenal. Beliau wanita yang
hidup mewah dengan hartanya sendiri. Namun semua itu dengan rela dikorbankannya
untuk memudahkan tugas-tugas suaminya. Baginya, apa yang dimiliki tidak lebih
mulia daripada mendukung misi suci yang diemban suaminya. Sikap inilah yang
menjadi sumber kekuatan rumah tangga Rasulullah sepanjang kehidupan mereka
bersama.
Khadijah begitu setia menyertai Nabi dalam setiap peristiwa suka dan duka.
Setiap kali suaminya ke Gua Hira, beliau pasti menyiapkan segenap perbekalan
dan keperluan. Seandainya Rasulullah agak lama tidak pulang, Khadijah akan
mengunjungi untuk memastikan keselamatan suaminya tercinta.
Ketika Rasulullah khusyu’ bermunajat, Khadijah tinggal di rumah dengan sabar
sehingga suaminya pulang. Apabila Nabi mengadu kesusahan serta berada dalam
keadaan gelisah, istri teladan ini mencoba sedapat mungkin menenteramkan dan
menghiburnya sehingga suaminya benar-benar merasakan ketenangan.
Setiap ancaman dan penganiayaan dihadapi bersama. Malah dalam banyak kegiatan
peribadatan Rasulullah, Khadijah pasti bersama dan membantu, misalnya
menyediakan air untuk mengambil wudhu.
Kecintaan dan kesetiaan itu bukan sekadar kepada suami, namun jelas
berlandaskan keyakinan yang kuat tentang keesaan Allah. Segala pengorbanan
untuk suaminya adalah ikhlas untuk mencari keridhaan Allah.
Allah Maha Adil dalam memberi rahmat-Nya. Setiap amalan yang dilaksanakan
makhluk-Nya dengan penuh keikhlasan, pasti mendapat ganjaran yang berkekalan.
Allah berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(An-Nahl: 97).
Janji Allah itu pasti benar. Wujud kesetiaan yang telah ditunjukkan oleh
Mutiah, Fathimah, dan juga Khadijah bukan sekadar menghasilkan kekuatan yang
mendorong kegigihan dan perjuangan suaminya, namun juga membawa barakah yang
besar kepada rumah tangga mereka. Anak-anak yang lahir dari wanita-anita
seperti ini adalah anak-anak yang shalih yang mendorong para orangtua menuju
surga.
Kalaulah di zaman sekarang ini ada anggapan bahwa kesetiaan di atas merupakan
lambang perbudakan pria kepada wanita, jelas itu tidak benar. Justru
sebaliknya, itu merupakan cermin cinta, ketulusan, dan pengorbanan kaum wanita
yang harus dihargai dengan perilaku yang sama dalam rangka mencari ridha-Nya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar